Skip to main content

Pencapaian Tertinggi dalam Hidup Seorang Wanita : Ambisi Karier dan Pendidikan atau Pernikahan?



Saya berada di rentang usia dimana teman-teman saya beramai-ramai mengakhiri masa lajangnya. Senang sekali rasanya melihat mereka satu-persatu membangun bahtera keluarga. Menikah. Ya. Siapa yang tidak ingin menikah. Memiliki pasangan yang sah dan berbagi sisa hidup bersama. Sudah pasti jadi angan-angan setiap wanita termasuk saya. Ya mungkin juga angan-angan para pria di luar sana. Kemudian, isu pernikahan menggelitik saya untuk mulai menuliskan opini. Benarkah pernikahan merupakan suatu pencapaian tertinggi dalam hidup seorang wanita? Tunggu. Sebelum kamu membaca lebih jauh, saya ingin menjelaskan terlebih dahulu. Biar ndak salah paham gitu ya J

Maksud saya menulis tentang hal ini, bukan untuk mendiskreditkan wanita-wanita yang berpikir bahwa pernikahan adalah pencapaian tertingginya. Tidak ada yang salah. Saya sangat menghargai apapun pendapat dan prinsip Anda mengenai pernikahan. Tulisan ini ditujukan untuk sedikit membantu para wanita di luar sana, yang mungkin masih ragu dan memiliki pertanyaan yang sama dengan saya. Supaya mereka tidak merasa terasing atau aneh dengan pemikirannya. Sampai disini mengerti ya maksud dan tujuan saya? J

Saya paham benar bahwa usia Anda dan saya (24 tahun) merupakan usia ideal untuk menikah. Dari segi biologis maupun psikologis, usia ini sudah mencapai tahap kematangan. Belum lagi dorongan dari keluarga terlebih orang tua yang sudah gak sabar mau gendong cucu (uuh unyu!). Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan saat Anda memikirkan kesiapan diri untuk menikah. Finansial, karier, mental, dan bla-bla-bla seringkali menjadi penghambat Anda. Jika dilihat dari sisi biologis, ya memang sudah matang dan siap. Tapi dari segi psikologis dan mental, saya tidak bisa katakan pastinya. Jelas semua orang di fase umur yang sama, belum tentu memiliki kematangan mental dan sisi psikologis yang sama.
Pernikahan kemudian menjadi momok yang dinanti dan sekaligus ditakuti. Saya percaya segelintir orang menanggap pernikahan adalah suatu pencapaian. Saya setuju dan layak disambut dengan sukacita. Rasanya heboh ketika Anda mendengar salah seorang saudara atau teman dekat yang siap mengakhiri masa lajang. Seolah-olah pernikahan itu suatu pencapaian yang..didewakan. Hiperbola sedikit ga apa ya. Dan reaksi hiperbola ini berbanding terbalik ketika Anda mendengar salah seorang dari kerabat bermaksud untuk melanjutkan studi Master atau mendapatkan promosi di pekerjaannya. Dan itu terjadi tidak hanya pada beberapa wanita saja tetapi pada banyak wanita di sekitar Anda.

Pernahkah terpikir dalam benak Anda bahwa untuk sekelompok wanita pernikahan bukan pencapaian tertinggi dalam hidupnya? Bahwa sekelompok wanita rela menunda pernikahan untuk meraih pencapain yang lebih penting seperti akademik dan karier, itu adalah fakta yang harus dihadapi di era ini. Apa yang salah ketika seorang wanita lebih memilih untuk fokus meraih gelar sarjana, master, bahkan doktor? Dimana yang salah ketika seorang wanita mengejar ambisinya untuk meraih posisi top leader di tempat ia bekerja? Ketika segelintir orang dengan nyinyirnya berbicara, “Wanita gak perlu sekolah tinggi-tinggi. Toh akhirnya akan diam di rumah, mengurus anak dan suami.” Atau stereotype semacam, “Wanita gak usah terlalu pusing ngejar karier. Nanti udah jadi bos malah susah dapet pasangan.” Pernah mendengar celetukan wanita tidak perlu terlalu berambisi ?Saya sih sering.

Saya tidak melihat ada yang salah atau janggal dari keinginan dan ambisi mereka. Saya percaya dan yakin sekali, dalam setiap diri wanita pasti memiliki keinginan untuk menikah. Lantas, apabila mereka mengejar ambisi mereka dalam pendidikan dan karier kemudian dapat menggeser dan mengubah pola pikir mereka tentang pernikahan? Atau bahkan melupakan peran dan tanggung jawab mereka dalam keluarga? Saya tidak akan mengatakan hal itu tidak akan terjadi. Memang hal-hal itu benar terjadi. Namun, melalui tulisan ini saya mengajak Anda untuk sedikit berpikir lebih jauh dan terbuka. Jika hal itu terjadi, bukan berarti itu akan terjadi pada semua wanita kan? Kita tidak bisa menyamaratakan pandangan begitu saja. Penilaian tidak bisa dilakukan secara dangkal. Pernahkah Anda menanyakan apa alasan mereka hingga begitu menggebu mengejar ambisinya? Pernahkah terpikir di dalam benak Anda bahwa mungkin yang mereka lakukan adalah sebagai pijakan awal untuk keluarga di masa yang akan datang?

Begini contohnya. Saya memiliki ambisi untuk melanjutkan studi master ke luar negeri. Tentu saja saya menerima pro dan kontra. Saya terima dengan lapang dada apapun itu. Saya anggap sebagai bentuk perhatian dan saya ubah perhatian itu menjadi motivasi. Seorang teman baik sesama wanita, suatu hari bertanya pada saya. “Kenapa sih lo mau lanjut studi S2? Gak takut nanti susah dapet suami? Emang nanti berguna ketika lo udah berkeluarga? “ Entah kenapa saya merasa senang ditanya seperti itu. Dengan santai saya menjawab, “Gue mau ngelanjutin S2 karena gue senang belajar. Ada harapan untuk membawa keluarga dan keluarga masa depan menjadi lebih baik. Dan gue gak cuma pengen berguna buat keluarga, tapi juga buat Indonesia. Indonesia masih butuh kontribusi pemudanya. Kalau bukan gue dan lo, siapa lagi? Dan gue gak takut soal jodoh. Semua sudah Tuhan rencanakan dengan baik. Tuhan sudah sediakan buat gue.” Ini hanya satu contoh saja. Masih banyak pertanyaan atau keraguan lain yang dilontarkan tentang ambisi saya.

Point yang mau saya pertegas adalah ada niat baik dibalik ambisi yang ingin dicapai oleh wanita-wanita ini. Ada niat untuk memperjuangkan peran wanita yang lebih setara dengan pria di pembangunan negara dan masyarakat. Bukankah fenomena ini menjadi bukti nyata bahwa wanita telah bangkit dari stereotype yang selama ini menghantui mereka? Bukti nyata bahwa sekalipun mereka memiliki ambisi untuk diri sendiri, mereka tidak akan melupakan peran dan tanggung jawab dasarnya dalam keluarga dan masyarakat. Ini adalah bukti nyata bahwa wanita siap mendobrak dinding yang selama ini membatasi mereka. Bahwa ambisi ini tidak semata-mata dilakukan untuk dirinya sendiri. Tetapi untuk kelangsungan keluarganya di masa depan. Memang ada yang bilang rezeki pernikahan itu berbeda. Tapi kita tidak pernah tahu karena rezeki setiap orang sudah diatur. Dan bukan berarti tidak terlintas sama sekali tentang pernikahan dalam benak mereka. Tentu saja ada keinginan itu. Hanya perlu ditunda sebentar hingga mereka merasa yakin bahwa mereka siap menikah.

Saya berharap tulisan ini dapat membuka sedikit mata dan pikiran kita. Pernikahan memang suatu bentuk ibadah. Namun kita tidak dapat menyamaratakan prinsip pernikahan pada setiap wanita. Langkah apapun yang akan kita ambil, akan selalu menimbulkan pro dan kontra. Apapun yang Anda kejar saat ini, berusahalah dengan baik. Niat disertai dengan usaha dan doa adalah kunci tercapainya suatu impian. Mulai sekarang, sambutlah ambisi positif seorang wanita dengan sukacita. Sebagaimana Anda menyambut pernikahan kerabat Anda. Wanita dapat membawa perubahan nyata di sekitarnya. Namun, hal itu tak lepas dari dukungan sesamanya. Dukung wanita di sekitar Anda untuk turut berkontribus bagi pembangunan bangsa dan negara. Dan mari saling mengingatkan untuk tidak melupakan peran dan tanggung jawab sebagai seorang wanita dalam keluarga dan masyarakat.

Comments

  1. Gue setuju lang, terutama di bagian diusia yang sama kita punya timgkat kematangan yang berbeda.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

What Could Go Wrong With Love?

That day was the day when she and he realized something has grown between them. A little thing called love. It was all started from dating apps. Apparently they matched to each other. They talked, talked, and talked. They found comfort through all the good-bad-dirty-little-secret conversation they had. And instead turning them off, it was attractive, too attractive for them. Or maybe the conversation brought them closer than they expected. No white lies or dark lies in every story they shared. It was just pure honesty. No bad intention, truly an effort to know what has gotten into both of them. And as you can see, the trust has been rooted since the first time they talked to.  As they get closer, they just can't deny how they want to be together. How they want to share and embrace every moment they have together. And knowing that finally he found and she found the one they've been looking for. The chemistry is too strong, binds them too tight. They strengthen the weaknesses,...

5 Etika Publik yang Seringkali Disepelekan

Tempat umum seharusnya bisa menjadi tempat yang nyaman,aman,bersih,tertib,dan teratur. Siapapun pasti mau merasakan hal itu, sama halnya dengan saya. Sangat disayangkan, kita masih bisa menemukan banyak orang yang kurang bisa menerapkan etika di tempat umum. Emangnya perlu adanya etika di tempat umum? Yes good people . Etika itu harus diterapkan dimana saja lho. Tujuannya untuk kenyamanan bersama kok. Kira-kira apa saja sih etika yang masih sering dilanggar? Let me write you some! 1. Meludah sembarangan This point goes to the first place because it's totally disgusting and such an unappropiate habit. Ew! Air liur kita itu mengandung banyak sekali bakteri. Not just hundreds, even more than thousands! Apalagi jika dibuang di sembarang tempat, bisa dengan mudahnya terkontaminasi berbagai bakteri atau virus lain. Dengan kata lain, air liur bisa menjadi salah satu media penyebaran penyakit menular seperti flu, tuberculosis (TBC), herpes, dan lain-lain. Lalu gimana cara yang benar ...